Sutrah (Pembatas) Sholat
Sutrah artinya pembatas, dalam sholat ada anjuran untuk memasang sutrah. Hukum sutrah sholat sendiri sunnah muakkadah.
Dalil-dalil yang menunjukkan sunnah memasang sutrah sholat
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Jika salah seorang kalian sholat, maka sholatlah dengan memasang sutrah, dan mendekatlah kepadanya.” (HR. Abu Daud No. 698, dan ini adalah lafaz miliknya. Ibnu Majah No. 954, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3258, Disahihkan sanadnya oleh An-Nawawy dalam Al-Khulashoh 1/158)
Dari Abu Dzar Al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ
“Apabila salah seorang dari kalian hendak sholat, sebaiknya kalian membuat sutrah (penghalang) di hadapannya yang berbentuk seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, apabila di hadapannya tidak ada sutrah seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, maka sholatnya akan terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.” (HR. Muslim: 510)
Dari Abu Said Al-Khudry radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ اَلنَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ ( فَإِنَّ مَعَهُ اَلْقَرِينَ )
Apabila seseorang di antara kamu sholat dengan memasang batas yang membatasinya dari orang-orang lalu ada seseorang yang hendak lewat di hadapannya maka hendaklah ia mencegahnya. Bila tidak mau perangilah dia sebab dia sesungguhnya adalah setan. (Muttafaq Alaihi) Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa dia bersama setan.
Dari Abdillah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah ﷺ sedang sholat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku”. (HR. Bukhari 76, Muslim 504)
Ijma’ Ulama Tentang Sunnahnya Memasang Sutrah
Ibnu Rusydi rahimahullah berkata
واتَّفق العلماء بأجمعهم على استحباب السُّترة بين المصلِّي والقِبلة، إذا صلّى منفردًا كان أو إمامًا
Ulama bersepakat dengan ijma’ mereka atas sunnahnya memasang sutrah orang yang sholat didepannya, baik sholat sendiri ataupun menjadi imam sholat. (Bidayatul Mujtahid, 1/113)
Imam An-Nawawi Rahimahullah
يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بحيث لا يزيد بينهما على ثلاثة أذرع وإن كان في صحراء غرز عصا ونحوها أو جمع شيئا من رحله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرحل فإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الحرمين والغزالي لا عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الاكتفاء بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا.
“Disukai (sunah) bagi orang yang sholat untuk membuat sutrah di hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika sholat di gurun hendaknya menancapkan tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau karpet tempat sholat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)
Sutrahnya Makmum Mengikuti Imam
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah ﷺ sholat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari Ayahnya, dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ يَعْنِي فَصَلَّى إِلَى جِدَارٍ فَاتَّخَذَهُ قِبْلَةً وَنَحْنُ خَلْفَهُ فَجَاءَتْ بَهْمَةٌ تَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا زَالَ يُدَارِئُهَا حَتَّى لَصَقَ بَطْنَهُ بِالْجِدَارِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ
“Kami bersama Rasulullah ﷺ pernah menuruni bukit Adzakhir, kemudian tibalah waktu sholat, lantas beliau mengerjakan sholat dengan menjadikan dinding sebagai arah kiblat, sedangkan kami berada di belakang beliau, tiba-tiba ada seekor anak kambing yang lewat di depan beliau di hadapan beliau, namun beliau selalu mencegahnya, sehingga perut beliau hampir menempel di dinding, akhirnya anak kambing tersebut lewat di belakang dinding.” (HR. Abu Dawud 708, Ahmad 2/196/6852. Al Baihaqi 2/268/3585, Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzab 2/707 “sanadnya salih)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
(فأمَّا المأموم فلا يضرُّه مَن مرَّ بين يديه، كما أنَّ الإمام والمنفرد لا يضرُّ واحدًا منهما من مرَّ من وراء سترته… هذا كله لا خلافَ فيه بين العلماء) ((الاستذكار)) (2/274)
Adapun makmum tidak mempengaruhi sholatnya saat seseorang lewati shaf depannya. Sebagaimana seorang imam ataupun munfarid yang tidak berpengaruh sedikitpun saat ada yang lewat belakangnya. Semua ini tidak ada khilaf diantara ulama.” (Al-Istidzkaar 2/274)
Al-Qarafiy rahimahullah juga menegaskan,
أنَّ الجماعة لا تحتاج كلُّ واحد منهم إلى سترة إجماعًا، فكانت سترةُ الإمام سترةً لهم
Bahwa berjamaah (makmum) tidak perlu setiap dari mereka memasang sutrah, maka cukup sutrahnya imam menjadi sutrahnya makmum. (Adz-Dzakhirah 2/159)
Apa Saja yang Bisa Dijadikan Sutrah?
Dari banyak riwayat hadis, sutrah-sutrah yang biasa dipakai di zaman Nabi ﷺ dan para sahabat radhiallahu ‘anhum yaitu berupa dinding, tiang, pelana unta/kuda, tombak, ataupun barang yang tinggi. Bahkan dalam riwayat sutrah boleh hanya sebatas garis saja.
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Jika kalian sholat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan sholatnya orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)
Wallahu a’lam.
Artikel ini masih banyak kekurangannya, kritik dan saran ilmiyah ke redaksi: admin @ belajarsholat.com