SYARAT-SYARAT SAH SHOLAT
Syarat sholat seperti syara-syarat pada kajian fikih lainnya. Ulama ushul fiqh mendefinisikan syarat sebagai,
ما ترتَّب على عدمه العدمُ، ولا يترتَّبُ على وجودِه وجودٌ ولا عدمٌ
“Sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka sesuatu yang lain menjadi tidak ada. Dan dengan keberadaannya tidak melazimkan keberadaan atau ketiadaan yang lain.”
Misal, wudhu (bersuci) merupakan syarat sholat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Allah tidak menerima sholat seorang hamba, jika ia berhadas sampai ia berwudu.”[1]
Seseorang diharuskan berwudu sebelum sholat, jika ia masih memiliki hadas. Akan tetapi, jika seseorang memiliki wudu (belum batal) tidak melazimkan ia harus sholat saat itu juga atau tidak.
Berikut ini adalah bahasan syarat-syarat sholat yang apabila seseorang tidak memenuhinya, maka sholatnya tidak sah:
Syarat Pertama: Memasuki Waktu Sholat
Allah azza wajalla berfirman,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan perihal kewajiban seorang sholat di waktu sholat yang telah ditetapkan,
أجمعَ المسلمون على أنَّ الصلوات الخمس مؤقتة بمواقيت محددةٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu telah ditetapkan pada batas-batas waktu tertentu.”[2]
Syarat Kedua: Suci dari Najis dan Hadas
Sebagaimana firman Allah azza wajalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[3]
Dalam ayat ini Allah azza wajalla memerintahkan kepada orang yang hendak mengerjakan sholat agar ia memulainya dengan bersuci dari hadas. Baik hadas kecil seperti buang angin atau hadas besar seperti junub. Adapun bersuci dari najis seperti dari bekas
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda tentang wajibnya seorang bersuci dari hadas terlebih dahulu sebelum memulai sholat,
لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ
“Sholat dari orang yang tidak berwudu ketika ia berhadas tidak akan diterima.”[4]
Dan juga hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma,
لا تقبل صلاة بغير طهور، ولا صدقة من غلول
“Sholat tanpa bersuci tidak akan diterima oleh Allah. Begitupun shodaqoh yang berasal dari kecurangan.”[5]
Syarat Ketiga, Suci Badan, Tempat dan Pakaian
Begitupun tentang kewajiban seorang menyingkirkan najis dari badan, tempat sholat, dan pakaiannya ketika sholat. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama ketika ditanya tentang darah haid yang melekat di pakaian,
تحته ثم تقرصه بالماء ، وتنضحه وتصلي فيه
“Mengerik, menggosok, dan memercikkan air, baru kemudian ia boleh sholat dengan pakaian tersebut.”[6]
Dalam hadis yang lain dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
جاء أعرابي فبال في طائفة المسجد ، فزجره الناس ، فنهاهم النبي صلى الله عليه وسلم ، فلما قضى بوله ، أمر النبي صلى الله عليه وسلم بذنوب من ماء فأهريق عليه
“Seorang Badui datang kemudian buang air kecil di salah satu sudut masjid. Manusia yang menyaksikannya marah dibuatnya. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama menahan mereka. Setelah selesai buang air, Nabi Muhammad memerintahkan membawa seember air dan menyiramkannya ke bekas kencing Badui tadi.”[7]
Syarat Keempat: Menutup Aurat
Kewajiban bagi orang yang hendak mengerjakan sholat adalah memastikan auratnya tertutup dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[8]
Dalam ayat ini terdapat perintah akan wajibnya menutup aurat ketika sholat. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir as Sa’diy rahimahullahu,
استروا عوراتكم عند الصلاة كلها، فرضها ونفلها، فإن سترها زينة للبدن، كما أن كشفها يدع البدن قبيحا مشوها
“Yakni tutuplah auratmu ketika sholat, baik sunah maupun wajib. Karena menutup aurat adalah perhiasan terbaik bagi badan. Sebagaimana menanggalkan aurat adalah hal yang buruk lagi tercela.”[9]
Batasan Aurat
Batasan aurat bagi laki-laki adalah antara lutut dan pusar. Pendapat ini merupakan pendapat yang disepakati ulama empat mazhab. Seperti disebutkan oleh Az Zaila’i dalam Tabyiin al Haqaaiq 1/95, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/114, An Nawawi dalam Al Majmu’ 3/167-168, dan Al Buhuty dalam Kasyful Qina’ 1/266-267.
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama kepada Miswar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhu,
ارجعْ إلى ثوبِكَ فخُذْه ولا تَمشُوا عُراةً
“Pulanglah dan pakailah pakaianmu dan jangan berjalan dengan bertelanjang.”[10]
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama memerintahkan untuk kembali memakai pakaian yang menutup aurat sahabatnya (antara lutut dan pusar).
ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم إذا كانت عليهم أزر قصيرة يعقدونها على مناكبهم حتى لا تنزل ، وهذا يدل على أنهم يرون أن الصلاة لا بد فيها من ستر ما بين السرة والركبة.
“Oleh karenanya, Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ketika mendapati kain mereka cukup pendek, maka mereka mengikatkannya di pundak mereka supaya tidak turun. Ini menunjukkan bahwa mereka meyakini wajibnya menutup aurat antara lutut dan pusar ketika sholat.”[11]
Adapun aurat wanita dalam sholat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al Kaafi 1/238, dan Zakariya al Anshari dalam Al Ghurar al Bahiyyah 1/347.
وإنْ كانت امرأةً فكلُّ ثوب يُغيِّب ظهورَ قدميها ويستر جميعَ جسدها وشعرها فجائزٌ لها الصلاةُ فيه؛ لأنَّها كلها عورة إلَّا الوجه والكفين، على هذا أكثرُ أهل العِلم
“Untuk wanita maka seluruh pakaian yang bisa menutupi telapak kaki dan seluruh tubuh termasuk rambutnya, boleh dipakai untuk sholat. Karena seluruh hal tadi adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Ini pendapat mayoritas ulama.”
Dalilnya adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
لا يقبل الله صلاة حائض إلا بخمار
“Allah tidak menerima sholat seorang wanita yang baligh tanpa khimar[12].”[13]
Syarat Kelima: Menghadap Kiblat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama memerintahkan orang yang sholat dalam hadisnya untuk menghadap kiblat,
إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ، ثم استقبل القبلة فكبر
“Jika kalian hendak sholat, maka sempurnakanlah wudu, lalu hadaplah kiblat dan bertakbirlah” [14]
Kewajiban ini tetap ada kecuali dalam beberapa kondisi, yaitu:
- Kondisi lemah dan sangat tidak memungkinkan menghadap ke kiblat.
- Kondisi genting.
- Di atas kendaraan.
Artikel ini ditulis oleh Ustadz Muhammad Nur Faqih, S.Ag. (Beliau Lulusan STDI Jember Jurusan Hadis, Pengasuh Belajarsholat.com, Tanyahadis.com dan beliau aktif mengisi kajian-kajian ilmiyah di berbagai kota)
___________
Footnote:
[1] HR. Bukhari 6954.
[2] Al Mughni 1/378.
[3] QS. Al Maidah: 6.
[4] HR. Bukhari 135 dan Muslim 225.
[5] HR. Muslim 224.
[6] HR. Bukhari 227.
[7] HR. Bukhari 221.
[8] QS. Al A’raaf: 31.
[9] Tafsir as Sa’di 1/287.
[10] HR. Muslim 341.
[11] Asy Syarh al Mumti’ 1/162.
[12] Kain yang digunakan untuk menutup tubuh termasuk kepala.
[13] HR. Abu Dawud 641, At Tirmidzi 377, dan Ibnu Majah 540.
[14] HR. Bukhari 6251.