Hukum Qadha Sholat Sunnah Rawatib
Sebenarnya bahasan ini sudah sering ditulis oleh banyak asatidzah. Baik, qadha’ sholat sunnah muakkadah diperbolehkan dalam syariat. Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah hadis dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat dan tidak ada kafarat (pengganti) selain itu.” (HR. Bukhari 597 dan Muslim 684)
Hadis diatas secara umum menjelaskan bolehnya mengqadha’ sholat baik sholat wajib maupun sholat sunnah. Dalam hadis lain yang panjang, diriwayatkan oleh Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu saat safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama yang kelelahan dan akhirnya bangun kesiangan,
استيقظَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم والشمسُ في ظهره… ثم أذَّن بلالٌ بالصلاة، فصلَّى رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعتين، ثم صلَّى الغداةَ، فصنَع كما كان يَصنَعُ كلَّ يومٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bangun sementara matahari di belakang punggungnya…kemudian Bilal mengumandakan adzan, maka sholatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama 2 rokaat kemudian dilanjut sholat shubuh sebagaimana yang beliau kerjakan setiap harinya.” (HR. Bukhari 595 dan Muslim 681)
Dalam hadis lainnya yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama qadha sholat rawatib, Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إذا لَمْ يُصَلِّ أربَعًا قَبلَ الظُّهْرِ، صَلاَّهُنَّ بَعْدَهَا
“Bahwasanya Nabi ﷺ apabila tidak sholat empat rokaat sebelum Dzuhur, maka beliau ﷺ sholat empat rokaat itu sesudahnya Dzuhur.” (HR. Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan)
Bagaimana jika Qadha di Waktu Terlarang?
Yang dimaksud waktu terlarang adalah saat terbit matahari atau saat terbenam matahari. Bagi mereka yang memiliki udzur dan meninggalkan sholat di waktunya, boleh mengqadha di waktu-waktu terlarang tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam an Nawawi rahimahullahu,
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَمَذْهَبُنَا أَنَّ النَّهْيَ عَنْ الصَّلَاةِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ إنَّمَا هُوَ عَنْ صَلَاةٍ لَا سَبَبَ لَهَا فأَمَّا مَا لَهَا سَبَبٌ فَلَا كَرَاهَةَ فِيهَا. وَالْمُرَادُ بِذَاتِ السَّبَبِ الَّتِي لَهَا سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ عَلَيْهَا فَمِنْ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ الْفَائِتَةُ فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً إذَا قُلْنَا بِالْأَصَحِّ أَنَّهُ يُسَنُّ قَضَاءُ النَّوَافِلِ فَلَهُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ قَضَاءُ الْفَرَائِضِ وَالنَّوَافِلِ الرَّاتِبَةِ وَغَيْرِهَا وَقَضَاءُ نَافِلَةٍ اتَّخَذَهَا وِرْدًا وَلَهُ فِعْلُ الْمَنْذُورَةِ وَصَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَسُجُودُ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ وَصَلَاةُ الْكُسُوفِ وَصَلَاةُ الطَّوَافِ وَلَوْ تَوَضَّأَ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْ الْوُضُوءِ صَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْهُمْ الرَّافِعِيُّ وَيُكْرَهُ فِيهَا صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ. وَأَمَّا تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا إنْ دَخَلَهُ لِغَرَضٍ كَاعْتِكَافٍ أَوْ لِطَلَبِ عِلْمٍ أَوْ انْتِظَارِ صَلَاةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ الْأَغْرَاضِ صَلَّى التَّحِيَّةَ وَإِنْ دَخَلَهُ لا لحاجة بل ليصلي التحية فقط وجهان (أَرْجَحُهُمَا) الْكَرَاهَةُ كَمَا لَوْ تَعَمَّدَ تَأْخِيرَ الْفَائِتَةِ لِيَقْضِيَهَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” لَا تَتَحَرَّوْا بِصَلَاتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا ” وَالثَّانِي لَا يُكْرَهُ واختاره الامام والغزالي.
“Permasalahan terlarangnya sholat di beberapa waktu yang disebutkan tadi adalah untuk sholat yang tidak memiliki sebab. Adapun sholat-sholat yang memiliki sebab, maka tidak mengapa sholat di waktu-waktu tersebut. Sholat yang memiliki sebab adalah sholat yang didahului dengan sebab tertentu, seperti mengganti sholat wajib atau sunnah yang ditinggal dan selain keduanya, begitupun mengganti sholat sunnah lain yang sudah jadi rutinitas, pun sholat yang sudah kadung dinadzarkan, sholat jenazah, sujud tilawah dan sujud syukur, sholat gerhana, sholat thawaf, pun jika seseorang berwudu di waktu-waktu terlarang ia pun boleh sholat sunnah wudu setelahnya. Sebagaimana dijelaskan banyak ulama seperti Ar Rafii. Dengan tetap memakruhkan sholat Istikharah di waktu-waktu tersebut.
Adapun takhiyatut masjid, maka ulama syafiiyah berpandangan bahwa jika ia masuk masjid dengan tujuan tertentu seperti itikaf, belajar, menunggu sholat, atau selainnya maka boleh sholat langsung meski berbenturan dengan waktu terlarang. Berbeda halnya jika seseorang masuk masjid dengan tanpa tujuan tertentu kecuali sekedar untuk sholat tahiyyatul masjid saja, maka ada dua pendapat,
Pertama, pendapat yang tetap memakruhkannya sebagaimana ketika seseorang dengan sengaja mengabaikan untuk menyegerakan mengganti sholat yang ia tinggalkan sampai bertemu waktu-waktu terlarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,
لَا تَتَحَرَّوْا بِصَلَاتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا
“Janganlah kalian sholat saat terbit atau terbenam matahari.”
Kedua, pendapat yang tidak mempermasalahkan. Sebagaimana disepakati oleh Imam Al Ghozali rahimmahullahu.” (Al Majmu’ Syarh al Muhaddzab 4/170).
Wallahu a’lam.
Artikel ini masih banyak kekurangannya, kritik dan saran ilmiyah ke redaksi: admin @ belajarsholat.com
TIM REDAKSI BELAJARSHOLAT.COM