Menyamakan Sholat dengan Yoga
Sholat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam Islam, sholat termasuk ibadah yang memiliki kedudukan yang mulia. Bahkan termasuk di antara hal yang akan diperiksa oleh Allah azza wajalla sebelum ibadah yang lain. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به العَبدُ يَومَ القيامةِ من عَمَلِه صَلاتُه
“Sesungguhnya yang kelak akan dihisab pertama kali di hadapan Allah di hari kiamat dari amalannya adalah sholatnya.” (HR At Tirmidzi 413)
Ia adalah ibadah yang perintah tentangnya langsung datang dari Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Yang detail waktunya disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama. Yang gerakannya diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Maka, ia merupakan ibadah yang kemuliaan, detail, tatacara harus sebagaimana disyariatkan. Namun yang ramai belakang di beberapa kalangan ketika menyamakan ibadah sholat dengan praktik Yoga.
Yoga: Tradisi Dari Agama Lain
Secara historis, Yoga merupakan konsep yang dikenalkan oleh sistem kebudayaan Weda (India kuno / India Barat Laut) sejak 3000 SM. Berasal dari bahasa sansekerta kuno yang berarti union (penyaluran). Yaitu pengenalan sang pencipta dengan jalan pengenalan diri sendiri.
Pada tahun 1000 SM, Yoga berkembang menjadi konsep spiritual dan filosofi yang sistematis, sebagaimana ditemukan di kitab Weda. Dari sanalah kata Yoga pertama kali ditemukan. Dari tahun 800 SM – 500 SM Upanishad (karya filosofis) mulai menjabarkan pandangan hidup Yogis, yang kita kenal sekarang sebagai periode Yoga Klasik. Antara tahun 500 M – akhir abad ke-19 Yoga berkembang menjadi banyak aliran dan tradisi yang tersebar seantero India. Setelahnya, dengan banyak pengaruh yang masuk dari barat Yoga mulai mengalami pergeseran dari akar mistisnya. Namun, tentu saja banyak upaya dilakukan untuk mempertahankan warisan spiritual Yoga.
(Diringkas dan diterjemahkan dari https://www.mandalayogaashram.com/blog/a-brief-history-of-yoga)
Hukum Menyamakan Sholat dengan Yoga
Terlepas dari pendapat para ulama yang membolehkan Yoga dengan beberapa catatan, di antaranya dihilangkannya unsur spiritual dan murni melakukan gerakan yang meskipun sama dengan Yoga tapi dalam kerangka yang berbeda, menyamakannya dengan sholat adalah hal yang tidak diperbolehkan.
Karena keduanya memiliki dasar epistemologis yang sangat jauh berbeda. Sholat sebagai ibadah mahdhoh adalah wadah untuk seorang hamba beribadah kepada Allah azza wajalla dan ia tidak memiliki alasan khusus. Dalam artian, seorang hamba baik ia enggan atau tidak, bersemangat atau tidak, berhasil mendapat ketengan selama sholat atau tidak, selama ia tidak memiliki udzur maka ia tetap berkewajiban mengerjakannya.
Asy Syathibi rahimahullahu mengatakan:
إن الشارع غلَّب في باب العبادات جهة التعبد، وفي باب العادات جهة الالتفات إلى المعاني، والعكس في البابين قليل
“Sesungguhnya syariat lebih mengedepankan aspek taabbud (kepatuhan murni) dalam perkara ibadah dan mempertimbangkan aspek makna serta tujuan dalam perkara adat atau kebiasaan. Untuk yang sebaliknya (makna dan tujuan untuk ibadah dan kepatuhan untuk adat) adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi).”
Sholat yang memiliki aspek fisik dan batin yang mungkin sangat sedikit sekali menyerupai beberapa konsep dalam Yoga tidak melazimkan sholat sama dengan Yoga. Lebih jelas diungkapkan oleh Abul Ma’aliy:
متضمنه العبادات [البدنية] التي لا يلوح فيها معنى مخصوص، لا من مآخذ الضرورات، ولا من مسالك الحاجات، ولا من مدارك المحاسن، كالتنظيف في الطهارة، والتسبب إلى العتاقة في الكتابة، ولكن يتخيل فيها أمور كلية تحمل عليها المثابرة على وظائف الخيرات، ومجاذبة القلوب بذكر الله تعالى، والغض من العلو في مطالب الدنيا، والاستئناس بالاستعداد للعقبى. فهذه أمور كلية، لا ننكر على الجملة أنها غرض الشارع في التعبد بالعبادات البدنية، وقد أشعر بذلك نصوص من القرآن العظيم في مثل قوله تعالى: {إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}. ولا يمتنع أيضًا أن يتخيل فيها أمر آخر، وهو: أن الإنسان يبعد منه [ الركون ] إلى السكون فالقوى المحركة تحركه لا محالة؛ فإن تركت تحركت في جهات الشهوات، وإذا استحثت بالرغبة والرهبة على العبادات انصرفت حركاتها إلى هذه الجهات، وهذا فن لا يضبطه القياس، ولا يحيط به نظر المستنبط، والأمر فيه محال على أسرار الغيوب، والله تعالى المستأثر به؛ فلا يسوغ اعتبار ضرب إحداها في جهة اختصاصها، ولا يسوغ اعتبارها في إثبات قضيتها الخاصة بغيرها من الضروب، فإنا منعنا اعتبار ضرب بضرب فيما لا يستند إلى ضرورة وحاجة، وإن كان يغلب على الظن [تعين] مقصود منه على منهاج الأمر بالمحاسن، فلأن يمتنع ذلك من العبادات التي لا يتعين منها مقصد [أولى وأحرى].
“Ibadah-ibadah badaniyah (fisik) itu pada umumnya tidak tampak padanya makna tertentu, baik dari sisi pemeliharaan dharūriyyāt (hal-hal pokok yang sangat darurat), tidak pula dari jalur kebutuhan (ḥājiyyāt), dan tidak juga dari sisi keindahan (maḥāsin). Misalnya bersuci dalam thaharah, atau bertahap menuju pembebasan budak dalam akad kitabah. Namun, di dalamnya dapat direka mengandung tujuan-tujuan yang bersifat general, seperti: melatih diri untuk terus tekun dalam kebaikan, menarik hati untuk senantiasa ingat kepada Allah Ta‘ala, menundukkan jiwa dari kesombongan dalam mengejar urusan dunia, serta membiasakan diri bersiap menghadapi akhirat. Tujuan-tujuan umum ini secara garis besar tidak dapat diingkari sebagai maksud syariat dalam mensyariatkan ibadah-ibadah badaniyah. Hal itu juga disinggung oleh nash al-Qur’an, seperti firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. al-‘Ankabūt: 45).
Tidak tertutup kemungkinan juga untuk membayangkan tujuan lain, misalnya: manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari gerak; kekuatan penggerak dalam dirinya pasti menggerakkan ke arah tertentu. Jika dibiarkan, ia akan bergerak mengikuti syahwat. Namun, bila diarahkan oleh dorongan rasa takut dan harap kepada Allah dalam ibadah, maka pergerakan itu akan terarah kepada ibadah. Akan tetapi, hal ini adalah ranah yang tidak dapat dikurung oleh qiyas (analogi), tidak bisa sepenuhnya ditangkap oleh ijtihad akal, dan urusannya kembali kepada rahasia ghaib yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahuinya.
Karena itu, tidak boleh menetapkan satu jenis ibadah sebagai tujuan khusus tertentu, lalu menjadikannya sebagai hukum bagi ibadah lain yang berbeda jenis. Sebab, kita memang dilarang menjadikan satu jenis ibadah sebagai ukuran bagi ibadah lain, selama tidak ada kaitannya dengan dharūrah atau ḥājah. Jika saja dalam perkara maḥāsin (keindahan/kemaslahatan) yang tampak jelas kita dituntut untuk hati-hati, maka dalam ibadah yang tidak jelas makna khususnya tentu lebih layak untuk ditahan dari penetapan maksud tertentu.” (Al Burhan Fii Ushulil Fiqh 2/93)
Sholat adalah ibadah yang bersifat taabbudi sebagaimana disampaikan di awal, tercapainya ketenangan dalam diri seorang hamba tidak bermakna bahwa seorang yang tidak tenang selepas sholat maka ia tidak beribadah dengan semestinya. Karena ketidaktenangan adalah hal manusiawi, selama tidak memalingkannya dari sholat maka ia tidak dihukumi terlarang.
Implikasi lebih parah dari menyamakan dua kegiatan yang sama sekali berbeda ini adalah hilangnya kecemburuan terhadap perkara yang diharamkan sebelumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama pernah melarang para sahabatnya dari menyembelih hewan kurban di tempat yang dulunya biasa terjadi kesyirikan, lantas bagaimana dengan menyamakan ibadah agung berupa sholat dengan perkara yang memiliki akar historis agama lain yang cukup kuat?
Allahul mustaan.
TIM REDAKSI BELAJARSHOLAT.COM












