Siapa Yang Berhak Menjadi Imam?!
Shalat berjamaah adalah salah satu syiar Islam yang agung, dan keberadaan seorang imam merupakan bagian penting dalam menegakkannya. Oleh karena itu, Islam memberikan tuntunan jelas mengenai siapa yang lebih berhak menjadi imam ketika shalat berjamaah. Berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ:
يَؤُمُّ القَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فإنْ كَانُوا في القِرَاءَةِ سَوَاءً، فأعْلَمُهُمْ بالسُّنَّةِ، فإنْ كَانُوا في السُّنَّةِ سَوَاءً، فأقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فإنْ كَانُوا في الهِجْرَةِ سَوَاءً، فأقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ في سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ في بَيْتِهِ علَى تَكْرِمَتِهِ إلَّا بإذْنِهِ
Yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang paling mengetahui sunnah. Jika mereka sama dalam sunnah, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain di dalam wilayah kekuasaannya (otoritasnya), dan jangan pula ia duduk di tempat khususnya di rumahnya, kecuali dengan izinnya.” (HR Muslim no. 673)
Urutan Kriteria Imam dalam Shalat
Hadis ini menunjukkan bahwa penunjukan imam bukan perkara sembarangan, melainkan harus memperhatikan kriteria tertentu:
- Paling baik bacaan Al-Qur’annya;
- Jika sama dalam bacaan, maka yang paling memahami sunnah Nabi ﷺ;
- Jika sama dalam pemahaman sunnah, maka yang lebih dahulu berhijrah;
- Jika sama dalam hijrah, maka yang lebih dahulu masuk Islam;
Dengan demikian, shalat berjamaah akan lebih sempurna dan penuh ketenangan (ṭuma’nīnah).
Perbedaan Pendapat Ulama
Para ulama memang berbeda pendapat dalam sebagian urutan kriteria tersebut. Misalnya, siapa yang harus didahulukan antara yang paling faqīh (paham agama) atau yang paling baik bacaan Al-Qur’annya?
Pendapat yang lebih tepat adalah mendahulukan yang paling banyak bacaan Al-Qur’annya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama, di antaranya Imam an-Nawawi rahimahullāh:
وقال مالك والشافعي وأصحابهما : الأفقه مقدم على الأقرأ ؛ لأن الذي يحتاج إليه من القراءة مضبوط والذي يحتاج إليه من الفقه غير مضبوط ، وقد يعرض في الصلاة أمر لا يقدر على مراعاة الصواب فيه إلا كامل الفقه قالوا ولهذا قدم النبي صلى الله عليه وسلم أبا بكر رضي الله عنه في الصلاة على الباقين مع أنه نص صلى الله عليه و سلم على أن غيره أقرأ منه ، وأجابوا عن الحديث بأن الأقرأ من الصحابة كان هو الأفقه ، لكن في قوله: ” فإن كانوا في القراءة سواء ، فأعلمهم بالسنَّة ” دليل على تقديم الأقرأ مطلقاً
“Malik dan Asy-Syafi’i serta murid-muridnya berpendapat bahwa yang lebih faqih didahulukan dibandingkan yang paling banyak hafalan. Karena kebutuhan terhadap bacaan terbatas, sementara kebutuhan terhadap fikih shalat tidak terbatas. Dan terkadang ada hal-hal yang terjadi di dalam shalat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang yang baik pemahamannya. Mereka mengatakan, oleh karena itu Nabi ﷺ memerintahkan Abu Bakr raḍiyallāhu ‘anhu untuk menjadi imam, padahal saat itu ada yang lebih banyak hafalan Al-Qur’annya. Dan ketika menjelaskan hadis di atas, mereka menjawab bahwa yang paling banyak hafalan di kalangan sahabat sudah pasti lebih paham fikih shalat. Akan tetapi dalam hadis disebutkan: ‘Jika sama dalam hal bacaan maka yang paling paham sunnah.’ Hal ini menunjukkan bahwa yang paling banyak bacaan tetap didahulukan secara mutlak.” (Syarh Muslim, 5/177)
Namun, pendapat yang berbeda tetap perlu dipertimbangkan, karena pemahaman terhadap fikih shalat memang hal yang penting. Pada masa sahabat, bacaan Al-Qur’an dan pemahaman fikih shalat adalah dua hal yang berjalan beriringan, berbeda dengan keadaan di masa kini.
Makna “Aqra’uhum li Kitābillāh”
Menurut para ulama, istilah “aqra’uhum li Kitābillāh” (yang paling baik bacaan Al-Qur’annya) memiliki dua makna:
a. Paling Banyak Hafalan Al-Qur’an
Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar raḍiyallāhu ‘anhumā:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ -مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ – قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ، كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ ، وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
Ketika para Muhājirīn yang pertama tiba di al-‘Uṣbah — yaitu sebuah tempat di Qubā’ — sebelum kedatangan Rasulullah ﷺ, yang menjadi imam mereka adalah Sālim, maulā (bekas budak) Abū Ḥudhayfah, karena ia adalah yang paling banyak hafalan al-Qur’annya di antara mereka.”
b. Yang Memiliki Bacaan Paling Bagus
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
أرحمُ أمَّتي بأمَّتي أبو بَكْرٍ، وأشدُّهم في أمرِ اللَّهِ عمرُ، وأصدقُهُم حياءً عثمانُ، وأقرَأُهم لِكِتابِ اللَّهِ أبيٌّ، وأفرضُهُم زَيدٌ، وأعلمُهُم بالحلالِ والحرامِ معاذٌ
“Yang paling lembut dari kalangan umatku adalah Abu Bakr Ash Shiddiq. Yang paling tegas adalah Umar bin Al Khattab. Yang memiliki rasa malu besar adalah Utsman bin Affan. Yang paling bagus bacaannya adalah Ubay bin Kaab. Yang paling mengerti ilmu waris adalah Zaid bin Tsabit. Yang paling mengetahui hukum halal dan haram adalah Muadz bin Jabal.” (HR At Tirmidzi 3791 dan Ibnu Majah 154)
Hadis ini menunjukkan bahwa pengertian aqra’ berbeda dengan hafal atau paham. Karena sahabat-sahabat lain yang disebutkan besar kemungkinan dan tidak dapat dipungkiri memiliki hafalan Alquran yang sama banyak atau pemahaman Alquran yang sama baik.
Dan juga hadis tentang memperindah bacaan Al-Qur’an yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ”
Allah tidaklah lebih mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan seorang Nabi yang memperindah suaranya dengan Al-Qur’an yang ia lantunkan dengan keras.” (HR Bukhari no. 7544, Muslim no. 792)
Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Nur Faqih, S.Ag