Al-Mubahalah (المباهلة)
Mubahalah artinya saling laknat, yaitu bersungguh-sungguh dalam berdoa agar diturunkan laknat kepada salah satu dari orang yang berdusta.
Tatacara:
1. Menghadirkan seluruh keluarga anak dan istri diantara kedua belah pihak. Kemudian berdoa kepada Allah ﷻ agar menurunkan adzab dan laknat kepada siapa yang berdusta. (Taisir AlKarim, Syaikh As-Sa’di 2/49)
2. Niat ikhlas karena Allah untuk mencari keberanan.
3. Bertujuaan untuk menyingkap tabir kebenaran diantara kedua belah pihak dan membungkam kedustaan.
4. Hendaknya sebelum melakukan mubahalah melakukan pendekatan dialog dan nasehat. Karena mubahalah ini efeknya mengerikan.
5. Keabsahan hasil mubahalah harus diterima dengan keikhlasan.
Hukum Mubahalah
Hukumnya sunnah ketika bertujuan untuk menyingkap kebatilan sebagaimana dalam QS. Al Imran 61
Dasar Hukum
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (٥٩)الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (٦٠)فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), Maka jadilah Dia. (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Al Imran : 59 – 61)
Asbabun Nuzul
Ayat diatas turun saat adanya utusan dari Najran yang mendatangi Nabi ﷺ. Kemudian Nabi menawarkan kepada mereka untuk masuk Islam. Tetapi utusan Najran yang terdiri dari pada pendeta ini malah mendebat Nabi ﷺ dengan mengatakan,
“Kami sudah berislam sebelum kamu.”
Kemudian Nabi ﷺ membantah kebohongan mereka.
Tapi mereka tetap berargumen, ”Setiap anak Adam memiliki ayah. Bagaimana dengan Isa yang tidak memiliki ayah?. Lalu turunlah ayat 61 diatas untuk membantah kalam utusan Najran.
Lantas Nabi ﷺ mengajak utausan Najran bermubahalah. Sebagian mereka mengatakan kepada sebagian lainnya (ketakutan) ,”Jika kalian melakukan maka bukit ini akan menjadi perapian yang membakar kalian. Maka sesungguhnya Muhammad adalah Nabi yang diutus dan sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa dia (Muhammad) datang kepada kalian dengan sesuatu yang rinci tentang Isa.” Mereka berkata,”Apa yang kamu tawarkan kepada kami selain ini mubahalah?’ Beliau ﷺ menjawab,” Masuk islam, jizyah atau perang.” Maka mereka pun menetapkan untuk membayar jizyah lalu kembali ke negeri mereka. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah juz II hal 13128 – 13129)
Walaupun pada akhirnya Nabi dan Utusan Najran tidak jadi mubahalah, maka hukum mubahalah itu sendiri disunnahkan untuk membuka tabir kedustaan.
Mubahalah Dalam Kondisi Berdebat dengan Ahli Bathil
(إن السنة في مجادلة أهل الباطل إذا قامت عليهم حجة الله، ولم يرجعوا، بل أصروا على العناد أن يدعوهم إلى المباهلة، وقد أمر الله سبحانه بذلك رسوله، ولم يقل: إن ذلك ليس لأمتك من بعدك)([19]).
Sesungguhnya diantara sunnah berdebat dengan Ahli Bathil apabila telah sampai tegak Hujjah, dan mereka tidak mau rujuk, sebaliknya malah mereka masih bersikeras (terhadap kesesatan mereka) maka serukan kepada mereka untuk bermubahalah. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah 3/643)
Wallahu a’lam.